Urgensi
Islam Interdisipliner di Era Millenial
Oleh:
One Emi Nasitoh
A.
Pendahuluan
Islam sebagai Rahmatan
lil ‘alamin mempunyai berbagai makna, islam yang menjunjung tinggi hak dan
martabat manusia, serta islam yang memberikan kasih sayang dan manfaat bagi
seluruh umat manusia. Dari sini, Islam menggariskan bahwa semua pengetahuan
bersifat universal dan berperikemanusiaan. Umat Islam, mulai dari kalangan
skripturalis-fundamentalis sampai kontekstualis-liberal hingga kini masih satu
pandangan dan keyakinan bahwa al-Quran merupakan kitab utama yang berkedudukan
tertinggi. Diturunkannya al-Quran ke muka bumi diimani sebagai panduan umat
manusia (huda al-linnas) dalam menjalani kehidupan di dunia. Karena
itu pula al-Quran dipercaya sebagai sumber nilai obyektif, universal dan abadi.
Ajaran al-Quran mencakup seluruh aspek kehidupan (as-Syumul). Juga
mencakup seluruh ruang lingkup kehidupan, mulai dari kehidupan pribadi,
keluarga, masyarakat, Negara dan bahkan global (internasional).
Dalam
Sardar (2000: 48) disebutkan bahwa Pengetahuan Islam juga harus dibuat dalam
bentuk norma agar dapat diterima secara universal. Karena semua epistemologis
berasal dari konsep yang universal, maka mengandung nilai yang berlaku
selamanya, dan menyangkut seluruh umat manusia. Pengetahuan islam, yang tidak
dapat diaplikasikan pada kehidupan sosial manusia, yang tidak bermanfaat bagi
dan tidak dapat di-sharing kepada
pihak non-muslim, tidak bisa diberi label islam.
Dunia pendidikan juga
tidak akan bisa lepas dari unsur perubahan. Maka sangat wajar jika dari
perspektif filosofis, pembelajaran (learning) oleh Peter M. Senge
diartikan dengan study and practice constanly. Karena hal tersebut tidak
lepas dari hukum alam yang akan merongrong pendidikan untuk menapak tangga yang
lebih tinggi dan juga tuntut untuk menempatkan eksistensinya sesuai dengan
tuntutan realitas. Tetapi walaupun dalam realitas tersebut terus mengalir
perubahan-perubahan yang menuntut hal lain pada dunia pendidikan dan juga pada
manusia, tetapi curiosity (sifat ingin tahu) harus tetap menjadi spirit
dalam hidup manusia. Artinya kedinamisan realitas harus diimbangi dengan
gerakan konstruktif-solutif. Meminjam statemen dari Russel (dalam Mas’ud, 2002:
9) bahwa “it is better to be clearly wrong than vaguely right”,
maka sikap seperti itu seharusnya yang dibangun dalam tatanan kehidupan dalam
lingkaran pendidikan dan manusia sendiri untuk memunculkan suatu sikap
optimistik-selektif dan juga untuk menumbuhkan spirit dalam mencari problem
soulving untuk menjawab tuntutan realitas terhadap pendidikan (way of
life long education). Esensi dari pendidikan itu sendiri sebenarnya adalah
pengalihan (transmisi) kebudayaan (ilmu pengetahuan, teknologi, ide-ide, etika
dan nilainilai spiritual serta estetika) dari generasi yang lebih tua kepada
generasi yang lebih muda dalam setiap masyarakat atau bangsa. Proses transmisi
ini diharapkan mampu untuk menjadi nilai hidup dalam mempersiapkan Sumber Daya
Manusia (Human Resources) generasi berikutnya untuk menghadapi perubahan
era baru. Oleh sebab itu dalam tataran ini, sejarah pendidikan mempunyai sejarah
yang usianya sesuai dengan alur usia masyarakat pelakunya sendiri, sejak dari
pendidikan informal dalam keluarga, sampai kepada pendidikan formal dan
non-formal dalam masyarakat agraris maupun industri. Artinya, rentang waktu
yang dilalui oleh pendidikan sebagai bagian dari sejarah sosial kemanusiaan
mempunyai hubungan erat dengan peradaban manusia itu sendiri dan juga rentang
waktu perjalanan manusia di muka bumi. Dengan demikian, seperti yang
diungkapkan oleh Edward Hallett Carr, yang dikutip oleh Djoko Soerjo, bahwa
sejarah (pendidikan) merupakan suatu dialog tiada akhir antara masa kini dan
masa lalu.
B.
Islamic
Studies
Istilah “Islamic Studies” atau Studi Islam kini telah
dipergunakan dalam jurnal-jurnal professional, departemen akademik, dan
lembaga-lembaga perguruan tinggi yang mencakup bidang pengkajian dan penelitian
yang luas, yakni seluruh yang memiliki dimensi “Islam” dan keterkaitan
dengannya. Rujukan pada Islam, apakah dalam pengertian kebudayaan, peradaban,
atau tradisi keagamaan, telah semakin sering dipakai dengan munculnya sejumlah
besar literatur dalam berbagai bahasa Eropa atau Barat pada umumnya yang
berkenaan dengan paham Islam politik, atau Islamisme. Literatur-literatur
tersebut berbicara tentang perbankan Islam, ekonomi Islam, tatanan politik
Islam, demokrasi Islam, hak-hak asasi manusia Islam, dan sebagainya. Sejumlah
buku-buku terlaris sejak 1980-an berhubungan dengan judul-judul “Islam” dan
hal-hal yang berkaitan dengan kata sifat “Islami”, yang menunjukkan betapa
semua itu telah diistilahkan dengan sebutan “Islamic Studies” di dunia akademik
(Baidhawy, 2011: 1-2).
Kita
dapat mengemukakan dua pendekatan mendasar mengenai definisi Islamic Studies,
yaitu definisi sempit dan definisi yang lebih luas (Seleiman & Shihadeh
dalam Baidhawy, 2011: 2).
1.
Definisi
Sempit
Pendekatan
pertama melihat Islamic Studies sebagai suatu disiplin dengan metodologi,
materi dan teks-teks kuncinya sendiri; bidang studi ini dapat didefinisikan
sebagai studi tentang tradisi teks-teks keagamaan klasik dan ilmu-ilmu
keagamaan klasik; memperluas luang lingkupnya berarti akan mengurangi kualitas
kajiannya. Di samping itu, Islamic Studies berbeda dari ilmu-ilmu humaniora dan
ilmu-ilmu sosial dan akan diperlemah bila pendidikan berbasis kepercayaan
tentang Islam dan studi tentang Islam lintas disiplin berdasarkan kepada dua
disiplin tersebut. Meski ada perbedaan nyata antara antropologi dan ilmu-ilmu
sosial lainnya, dan Islamic Studies hanya sebagai distingsi yang dibuat dalam
hubungannya dengan disiplin-disiplin lainnya seperti Christian Studies.
Menurut
definisi ini, Islamic Studies mengimplikasikan: Pertama, studi tentang disiplin dan tradisi intelektual keagamaan
klasik menjadi inti dari Islamic Studies, karena ada di jantung kebudayaan yang
dipelajari dalam peradaban Islam dan agama Islam, dan karena banyak Muslim
terpelajar masih memandangnya sebagai persoalan penting. Pengertian Islamic
Studies sebagai studi tentang teks-teks Arab pra-modern utamanya karena itu
mesti dipertahankan. Keterampilan utama yang dibutuhkan adalah bahasa Arab.
Kedua,
Islamic
Studies adalah suatu bidang yang sempit. Upaya-upaya untuk memperluas bidang
kajiannya dapat mengakibatkan berkurangnya kualitas kajian. Namun demikian,
bidang ini terus menghadapi tekanan komersial untuk memperluas ruang
lingkupnya, dengan memasukkan misalnya, studi tentang pengobatan dan keuangan
Islam. Namun, imperatif utamanya adalah mempertahankan kualitas hasilnya.
Penelitian dan pengajaran dalam wilayah-wilayah yang berada di luar definisi
Islamic Studies yang sempit mesti diupayakan secara kolaboratif dengan kalangan
spesies luar yang berkualitas.
Ketiga,
pendidikan
berbasis keilmuan bagi Muslim mengenai Islam, dan studi lintas disiplin tentang
Islam yang bersandar kepada ilmu-ilmu humaniora dan ilmu-ilmu sosial, keduanya
memberikan tujuan yang bermanfaat. Namun, Islamic Studies bagaimanapun berbeda
dari keduanya dan jangan dipertipis garis batasnya. Yang diharapkan ialah upaya
memperkaya dua bidang lainnya. Minat ilmu antropologi dan ilmu-ilmu sosial
terhadap Islam memang dapat dibenarkan, namun jangan dipaksa untuk diistilahkan
sebagai Islamic Studies.
2.
Definisi
yang Lebih Luas (Interdisipliner)
Pendekatan
kedua mendefinisikan Islamic Studies berdasarkan pada pernyataan bahwa Islam
perlu dikaji dalam konteks evolusi Islam modern yang penuh teka-teki. Juga
adanya kebutuhan untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh teks-teks tentang
cara orang-orang mengalami dan menjalankan kehidupan mereka. Membatasi bidang
kajian pada studi teks saja akan berisiko memberikan kesan yang salah tentang
seperangkat praktik keagamaan Islam, sehingga menutupi realitas yang lebih
kompleks. Islam mesti diajarkan baik sebagai tradisi teks maupun sebagai
realitas sosial. Islamic Studies harus memiliki inti wilayah-wilayah dan
teks-teks yang definitif; pada hakikatnya ini mesti terdiri dari ilmu-ilmu
keislama klasik. Meskipun demikian, di sekitar inti ini ada wilayah-wilayah
lain yang dapat dimasukkan, seperti antropologi
dan ilmu-ilmu sosial. Dalam definisi ini, bidang Islamic Studies perlu
juga memasukkan pendekatan sosiologis dan studi tentang dunia modern.
Mengajarkan
Islamic Studies di perguruan tinggi mesti menjembatani kesenjangan antara
pendekatan tekstual dan pendekatan etnografi, karena mahasiswaa seringkali
berminat pada teks-teks tradisional, meskipun studi teks dapat mencakup
berbagai tradisi yang berbagai tradisi yang berbeda-beda. Artinya membatasi
diri pada bidang kajian teks semata berisiko memberikan pengertian yang keliru
tentang Islam dan masyarakat Islam.
Teks-teks
tradisi klasik besar telah dihasilkan dan dipergunakan oleh kaum Muslim dalam
konteks sosial tertentu. Islam harus diajarkan baik sebagai tradisi tekstual
dengan seluruh kesatuan sejarahnya, dan sebagai realitas sosial yang dinamis
dan terus berubah. Keduanya saling berhubungan, yakni tradisi teks menunjukkan
bahwa Islam, di samping merupakan seperangkat ajaran keagamaan, adalah cara
mendekati tantangan-tantangan ekonomi dan sosial praktis dalam kehidupan ini
(Baidhawy, 2011: 2-4).
C.
Pendekatan
dalam Pendidikan
Sejarah pendidikan
selama ini masih menggunakan pendekatan konvensional yang umumnya bersifat
diakronis, yang kajiannya berpusat pada sejarah dari ide-ide dan tokoh pemikir
besar dalam pendidikan, atau sejarah dan sistem pendidikan dan juga
lembaga-lembaga, atau sejarah perundang-undangan dan kebijakan umum dalam
bidang pendidikan. Pendekatan yang umumnya bersifat diakronis ini dianggap
statis, sempit serta terlalu melihat ke dalam. Seiring dengan perkembangan
zaman dan kemajuan dalam pendidikan beserta segala macam masalah yang timbul atau
ditimbulkannya, penanganan serta pendekatan baru dalam sejarah pendidikan
dirasakan sebagai kebutuhan yang mendesak oleh para sejarawan pendidikan. Para
pemerhati pendidikan melihat hubungan timbal balik antara pendidikan dan
masyarakat; antara penyelenggara pendidikan dengan pemerintah sebagai
representasi bangsa dan negara yang merumuskan kebijakan (policy) umum
bagi pendidikan nasional. Produk (output) dari pendidikan menimbulkan
mobilitas sosial (vertikal maupun horizontal); masalah-masalah yang timbul
dalam pendidikan yang dampak-dampaknya (positif ataupun negatif) dirasakan
terutama oleh masyarakat sebagai konsumen pendidikan.
Fenomena pendidikan
tersebut di atas merupakan lingkaran setan, yang kita tidak bisa keluar dengan
hanya mengandalkan satu pendekatan yang bersifat diakronis. Apalagi dalam
pendidikan Islam yang sampai sekarang masih mempunyai masalah serius yang
dihadapi oleh sebagian besar konseptor pendidikan Islam yaitu rendahnya tingkat
kemampuan memahami pendidikan Islam sebagai suatu “ilmu” dan pendidikan Islam sebagai
suatu “lembaga pendidikan”. Harus diakui, memahami pendidikan Islam sebagai
suatu sistem ilmu pengetahuan dan membedakan pengertiannya dengan pendidikan
Islam sebagai suatu lembaga pendidikan tidak semudah seperti memahami objek,
ilmu bersifat abstrak, sedangkan lembaga pendidikan bersifat konkret.
Sehubungan dengan hal
di atas pendekatan sejarah pendidikan (Islam) baru tidak cukup dengan cara-cara
diakronis saja. Perlu ada pendekatan metodologis yang baru yaitu dengan pendekatan
interdisipliner. Dalam pendekatan interdisipliner dilakukan kombinasi
pendekatan diakronis sejarah dengan sinkronis ilmu-ilmu sosial. Pada era
sekarang ini, ilmu-ilmu sosial tertentu seperti antropologi, sosiologi, dan
politik telah memasuki “perbatasan” (sejarah) pendidikan dengan “ilmu-ilmu
terapan” yang disebut antropologi pendidikan, sosiologi pendidikan, dan politik
pendidikan. Dalam pendekatan ini dimanfaatkan secara optimal dan maksimal
hubungan dialogis “simbiosis mutualistis” antara sejarah dengan
ilmu-ilmu sosial (Tabrani, 2014: 214-215). Interdisipliner dalam Abdullah (2007:
56) diistilahkan dengan pendekatan keilmuan integrative-interkonektif yang
menegaskan bahwa antara keilmuan umum dan agama (Islamic Studies) akan saling
tegur sapa dalam hal materi, metodologi dan pendekatan-pendekatan. Kedua
keilmuan tersebut tidak akan merasa asing satu sama lainnya, dimana Islamic
Studies yang ada dalam Fakultas Dakwah, Tarbiyah, Syariah, Adab dan Ushuludin
akan selalu berubungan dengan keilmuan sosial, humaniora, ataupun sains.
D.
Bagaimana
Kondisi Era Milenial?
Hasan
menyebutkan dalam Abdullah (2010: 95): “ Millenium baru membawa
tantangan-tantangan yang negatif arus globalisasi dan krisis lingkungan hidup.
Jika tidak diwaspadai, akan membuat seluruh planet bumi hancur. Tambahan pula,
ancaman lama perang nuklir, konflik-konflik internasional yang belum
terpecahkan di Timur Tengah dan Eropa Timur, perang antar suku di Afrika,
penderitaan AIDS, semakin bertambahnya kejahatan dalam berbagai bentuknya,
rusaknya kelembagaan keluarga, penyalahgunaan obat, kerusakan kehidupan kota,
dekadasi moral dan berbagai penyakit sosial lainnya. Agama-agama yang mengajak
ke arah perdamaian, keadilan, kesejahteraan hidup secara utuh-menyeluruh dan
kehidupan yang baik harus menanggapi isu-isu tersebut di atas, sementara ia
tetap harus menentang ketidakadilan sosial, penindasan, korupsi, penyalahgunaan
kekuasaan, keserakahan, materialisme, rasisme, seks, hedonisme dan nihilisme.”
Dalam
situasi global yang menuntut skill
dan penguasaan bahasa asing (Inggris dan Arab), bidang ilmu yang ditawarkan
oleh PTAI hanya cocok untuk mencetak generasi penghafal tradisi klasik Islam.
Bukan hanya disitu, bidang ilmu yang ditawarkan oleh kebanyakan PTAI adalah
masih bersifat teologis-normatif-deduktif, bukan empiris-historis-induktif.
Model ini hanya cocok untuk masa awal abad ke-20 di mana umat Islam perlu
membangun kembali kerangka dalam melakukan reformasi pemikiran Islam. Namun
untuk abad ke-21 dan seterusnya, model empiris-historis-induktif yang sering
digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan perlu mendapat perhatian (Minhaji
& Kamaruzzaman, 2003: 79).
E.
Urgensi
Islam Interdisipliner di Era Millenial
Jauh
sebelumnya, dalam sejarah kependidikan Islam telah pula terpola pengembangan
keilmuan yang bercorak integralistik-ensiklopedik
di satu sisi, yang dipelopori oleh para ilmuan seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd,
Ibnu Khaldun, berhadapan pula dengan pola pengembangan keilmuan agama yang spesifik-parsialistik di sisi lain, yang
dikembangkan oleh para ahli hadis dan ahli fiqih. Keterpisahan secara diametral
antara keduanya dan sebab-sebab lain yang bersifat politis-ekonomis, berakibat
pada rendahnya mutu pendidikan dan kemunduran dunia Islam pada umumnya
(Abdullah, 2010: 96). Maka Studi Islam pada dekade 2000-an mengalami
pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh nalar saintifik Barat (sebagaimana
terlihat dalam filologi) ketika diterapkan untuk kebudayaan-kebudayaan atau
konsep-konsep asing di luar realitas Eropa Kristen dan peradaban Barat sekuler.
Disiplin studi islam tetap hegemonik: ia selalu menekankan klasifikasi,
kategori, definisi, distingsi, konsep-konsep, dan teori-teori tentang
kebudayaan lain tanpa ketakutan akan kritik atau penolakan, kecuali barangkali
tentang landasan-landasan polemik atau ideologis. Ini menjadi mungkin karena
pada awal abad ke-21, dunia Muslim yang menjadi objek dari penelitian Studi
Islam memproduksi pandangan konseptualnya sendiri tentang sejarah, kebudayaan,
dan agama sehingga akan menentang perspektif hegemonik yang inheren dalam Studi
Islam dan memaksanya untuk mengakui penafsiran alternative (Baidhawy, 2011:
54-55).
Tantangan di era
globalisasi menuntut respons tepat dan cepat dari sistem pendidikan Islam
secara keseluruhan. Jika kaum Muslimin tidak hanya ingin sekedar survive di tengah persaingan global yang
semakin tajam dan ketat, tetapi juga berharap mampu tampil di depan, maka
re-orientasi pemikiran mengenai pendidikan Islam dan rekonstruksi sistem dan
kelembagaan merupakan keniscayaan. Umat Islam tidak boleh berpangku tangan dan
menonton dari seluruh perkembangan yang terjadi (Abdullah, 2010: 98-99). Oleh
karena itu penting bagi kajian islam untuk mengintegralkan dan menghilangkan
dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama. Hal ini penting untuk memberikan
landasan moral Islam terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
lingkungan hidup, sosial-ekonomi, sosial-budaya, sosial-politik dan
sosial-keagamaan, sekaligus mengartikulasikan ajaran Islam sesuai dengan
perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, humaniora dan sosial
kontemporer. Seperti dalam Baidhawy (2011 :4), Islamic Studies bukanlah sebuah
disiplin, namun ia lebih merupakan kesalinghubungan antara beberapa disiplin.
Dalam bahasa metodologi, para peneliti meminjam serangkaian disiplin termasuk
ilmu-ilmu sosial. Kurang tegasnya batasan-batasan ini justru menyediakan
peluang untuk memperkaya studi interdisipliner yang beragam. Interdisipliner
sungguh penting sebagaimana Agus Purwanto yakin bahwa kebangkitan Islam saat
ini hanya dapat diwujudkan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Agus Purwanto mengingatkan bahwa fungsi al-Quran juga berlaku bagi konstruksi
ilmu pengetahuan dengan memberi petunjuk tentang prinsip-prinsip sains yang
selalu dikaitkan dengan pengetahuan metafisik dan spiritual. Dengan kata lain,
wahyu (dan sunnah) dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi bagi bangunan ilmu
pengetahuan (2008:193). Dengan demikian, ketika sifat integreted dan komperhensif (interdisipliner) mampu diwujudkan
lahirlah sosok manusia yang mempunyai The Conscious of God dengan spirit
liberating and civilizing (Tabrani,
2014: 232). Pendekatan Integratif-Interkonektif menjadikan Islamic
Studies mengalami proses objektivikasi dimana keilmuan tersebut dirasakan oleh
orang non-Islam sebagai sesuatu yang natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan
keagamaan. Sekalipun demikian, dari sisi yang mempunyai perbuatan, bisa tetap
menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan, termasuk amal, sehingga Islam
menjadi rahmat bagi semua orang (Abdullah, 2007: 54).
F.
Metodologi
Ilmiah Modern dan Studi Islam
Studi tentang
agama-agama pada masa modern dan kontemporer banyak mengambil manfaat dari
perkembangan metodologi dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Pengaruh kedua
disiplin keilmuan ini cukup besar bagi perkembangan studi agama dan khususnya
Studi Islam. Mengkaji Islam belum sampai pada kesimpulan yang komprehensif bila
semata mengandalkan metode dan pendekatan yang sifatnya sui generis berasal dari ilmu keislaman itu sendiri sebagaimana
dalam percabangan kajian Islam tradisional. Penerapan pendekatan dan metode
keilmuan modern dan kontemporer dalam
Studi Islam ini bukan bermaksud untuk menggantikan apalagi menyingkirkan kajian
Islam tradisional, namun lebih merupakan melihat dari perspektif lain yang
dipercaya dapat memperkaya tentang pemahaman Islam dan masyarakat Muslim.
1.
Pendekatan
Ilmu Sejarah
Pendekatan historis adalah suatu upaya
untuk menelusuri asal-usul dan pertumbuhan ide-ide dan lembaga-lembaga
keagamaan melalui perode-periode waktu tertentu dalam perkembangan historis dan
untuk menilai peran faktor-faktor yang berinteraksi dengan agama dalam periode
tersebut. Yang utama dari analisis historis adalah penggunaan bukti-bukti
pertama baik berupa sumber-sumber documenter maupun benda-benda yang masih
dapat dijumpai/diwariskan. Bukti dokumen khususnya literatur barangkali
merupakan tipe analisis historis yang lebih umum dan memerlukan perhatian
khusus dalam mengkaji agama-agama.
Sejalan dengan para sejarawan menguji
reliabilitas sumber-sumber dengan harapan mengungkap data historis tertentu, ia
juga harus mengakui bahwa aspek-aspek tertentu dari tradisi keagamaan tidak
rentan atas penyelidikan sejarah. Misalnya, masalah mukjizat yang tidak dapat
dinalar oleh rasio tidak membutuhkan penelitian historis. Hal serupa juga
terjadi pada kajian tentang Islam (Baidhawy, 2011: 262).
2.
Pendekatan
Sosiologis
Pada awalnya, penerapan metode
sosiologis mengikuti model sosiologi umumnya seperti yang dikemukakan oleh A.
Comte dan L. Von Stein, yang berkaitan erat dengan penafsiran ekonomi yang
diusulkan oleh Laselle dan Marx. Pendekatan ini kemudian dikoreksi oleh para
peneliti sosiologi agama modern: Fustel de Coulanges dan Emile Durkheim, Max
Weber dan Ernst Troeltsch, Werner Sombart dan Max Scheler (Baidhawy, 2011:
264).
Kajian tentang pengaruh stratifikasi
sosial atas pengelompokan sosial dan atas struktur dan pembentukan komunitas
keagamaan kini mendapat dukungan dari upaya-upaya yang dilakukan oleh sejarawan
dan ahli hokum. Kajian ini terjadi di Jerman, Perancis, dan Amerika yang telah
menghasilkan temuan-temuan menarik. Emile Durkheim, Max Weber, Howard Becker,
dan lain-lain, merupakan pelopor dalam bidang ini. Sama pentingnya adalah
pendekatan sosiologis untuk mengkaji kelompok keagamaan yang diorganisir secara
sistematis dan tipologis, sehingga melengkapi penelitian sejarah dan psikologi.
Dalam agama-agama Kristen dan non-Kristen salah satu kepedulian utama adalah
komuni, jamaah. Definisi tentang jamaah menurut penafsiran masing-masing
kelompok keagamaan merupakan salah satu dari ajaran utama keimanan.
Pengalaman keagamaan itu sendiri pada
umumnya mengungkapkan diri dalam tiga cara: dalam pemikiran, tindakan dan
perkumpulan/jamaah. Tiga bentuk ekspresi ini menyatu dan hanya dalam ekspresi
perkumpulan/jamaah inilah dua hal yang lain –ekspresi intelektual dan
praktikal- memperoleh makna sejatinya. Mitos atau doktrin merupakan artikulasi
pemikiran tentang apa yang dialami dalam berhadapan dengan Realitas Ultim; dan
kultus merupakan hidup di luar konfrontasi ini dalam bentuk tindakan. Keduanya
memberikan arah bagi komunitas, yang dibentuk oleh mereka yang bersatu dalam
pengalaman keagamaan, dan komunitas ini aktif membentuk dan mengembangkan
pengalaman keagamannya dalam pemikiran dan tindakan (Baidhawy, 2011: 266-267).
3.
Pendekatan
Antropologi dan Etnografi
Antropologi adalah suatu cabang keilmuan
yang peduli dengan upaya mendokumentasikan organisasi hubungan-hubungan sosial
dan pola-pola praktik kebudayaan di tempat-tempat tertentu, dan mengembangkan
lebih kurang teori-teori berkenaan dengan keserupaan-keserupaan dan
perbedaan-perbedaan dalam kehidupan manusia. Dalam konteks Studi Islam dan
masyarakat Muslim, karya-karya etnografi yang merupakan tipikal dari karya para
antropologis bertujuan untuk menunjukkan bagaimana Islam telah dipribumikan
(Eickel dalam Baidhawy, 2011:271), bagaimana tradisi-tradisi dominan dan lebih
menonjol dipraktikkan, diinstitusionalisasikan, ditransmisikan, tumbuh bersama
dan dikontestasikan dalam berbagai kawasan sekaligus, baik di lokasi-lokasi
pedesaan maupun perkotaan. Agama dan ritual disituasikan dalam kaitannya dengan
kategori-kategori lain seperti kekerabatan dan etnisitas, ekonomi dan
teknologi, politik dan ideology. Dalam pengertian yang lebih teoretis, para
antropolog berusaha menilai seberapa besar kemungkinan untuk menggeneralisasi
tentang masyarakat-masyarakat dan kebudayaan-kebudayaan Muslim dalam rentangan
tempat (dan dalam beberapa hal dalam rentangan waktu). Bagaimana hubungan antara
yang satu dan yang jamak, yang universal dan yang partikular, Islam dan
keragaman empiric dari Islam yang majemuk (El-Zein dalam Baidhawy, 2011:
271-272).
4.
Pendekatan
Fenomenologi
Ada premis dalam fenomenologi agama
bahwa manusia secara fitrah beragama dan fenomena keagamaan sama kompleksnya
dengan manusia itu sendiri. Premis ini membawa para sarjana untuk bersimpati
dan rendah hati ketika mereka mencoba menjelaskan fenomena keagamaan. Dalam
konteks Studi Islam, sejak pertengahan kedua abad 20, pandangan simpatetik
telah menjadi kecenderungan umum sebagai lawan dari prasangka dan miskonsepsi
sarjana Barat yang dikritik oleh Norman Daniel dalam Islam and the West dan Edward Wadie Said dalam Orientalism (1978). Jadi pendekatan fenomenologi berusaha untuk
menengahi antara sikap yang kering dan tidak simpati dari pendekatan
positivistic terhadap agama dengan teologi konservatif. Tidak persis betul
sebagai jalan tengah karena banyak sarjana mengusulkan berbagai cara di ruang
yang sempit ini. Ada beberapa studi yang berupaya untuk menjelaskan hakikat
fenomenologi agama. Arvind Sharma adalah salah seorang sarjana yang mencoba
mendefinisikan metode fenomenologi dengan menganalisis definisi-definisi yang
diusulkan oleh pra fenomenolog agama seperti Brede Kristensen (1867-1953) dan
Gerardus van der Leeuw (1890-1950). Dari kajiannya, Sharma mendefinisikan bahwa
“fenomenologi agama adalah suatu metode kajian agama yang ditandai dengan upaya
mencari struktur yang menggarisbawahi data keagamaan yang dapat diperbandingkan
sehingga tidak menyalahi pemahaman orang-orang beriman itu sendiri”.
Paralelitas antara berbagai tradisi keagamaan tidak muncul dari luar dinamika
interaksi historis, namun muncul dari keserupaan-keserupaan proses struktural.
Inilah yang membuat fenomenologi agama berbeda dari sejarah agama (Baidhawy,
2011: 278-279).
5.
Pendekatan
Arkeologi
Studi Islam yang berkaitan dengan
perkembangan Islam di berbagai kawasan juga berkembang. Dalam waktu yang cukup
lama, Studi Islam lebih terfokus pada kajian Islam di kawasan Timur Tengah.
Padahal, banyak kawasan lain di luar Timur Tengah menjadi tempat berkembangnya
kebudayaan dan peradaban Muslim, seperti Afrika dan Asia Selatan, dan Asia
Tenggara di mana Islam tumbuh. Khususnya kawasan Asia Tenggara di mana
Indonesia sebagai Negara berpenduduk Muslim terbesar dunia berada, adalah suatu
kawasan yang lebih banyak didominasi oleh kajian para sarjana Barat itu
mengungkapkan berbagai persoalan yang berhubungan dengan Islam Asia Tenggara
dan relevan untuk kajian arkeologi. Kajian arkeologi ini akan memberikan
jawaban atas apa yang belum disentuh secara memadai oleh kalangan sejarawan dan
antropolog. Persoalan yang diajukan oleh arkeologi terhadap kajian Islam di
Asia Tenggara terkait dengan masalah: kapan Islam kali pertama datang di
kawasan ini, di mana pintu masuknya, siapa yang membawanya dan dari mana dibawa
(Baidhawy, 2011: 288).
Pendekatan ini dalam keilmuan global
cukup menjanjikan untuk menambah pemahaman kita tentang asal-usul dan
perkembangan Islam Asia Tenggara. Dengan memfokuskan pada skala kecil, skala
lokal dan penggunaan bukti-bukti documenter sebagai sumber persoalan penelitian
daripada jawaban-jawaban, ada potensi untuk menghasilkan capaian yang
mengejutkan. Ini merupakan kawasan paling produktif dalam arkeologi sejarah
secara umum, dan merupakan satu metode untuk menggerakkan penelitian arkeologi
dari periode historis yang keluar dari peran sekundernya menuju sejarah di mana
data arkeologi sekadar menggambarkan atau mengisi kekosongan penelitian
berdasarkan dokumen (Baidhawy, 2011: 292).
G.
Bagaimana
Interdisipliner yang Berhasil?
Tulisan
ilmiah tentang Goethe, Immanuel Kant, Cervantes, atau Dante menjadi rujukan
bagi karya-karya ilmiah dalam bahasa Jerman, Spanyol, dan Itali. Namun, ketika
karya-karya mereka diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Persia, atau Turki,
seringkali terlalu diabaikan. Dalam ungkapan yang lebih buruk, katakanlah para
sarjana Studi Islam telah membentuk suatu kelompok tertutup; mereka membaca dan
saling mengkritik karya satu dengan lainnya tanpa merasakan risiko dinilai oleh
para peneliti dalam disiplin-disiplin keilmuan lainnya yang teknik-teknik
mereka harus digunakan untuk menganalisis Islam. Dengan kata lain, faktor kunci
dalam pendekatan interdisipliner yang berhasil adalah latar belakang pendidikan
peneliti sekaligus kemauan dan usahanya untuk mencari pandangan-pandangan para
koleganya yang dikenal karena perspektif-perspektif mereka yang inovatif
(Baidhawy, 2011: 55).
H. Penutup
Islamic
Studies bukanlah sebuah disiplin, namun ia lebih merupakan kesalinghubungan
antara beberapa disiplin. Dalam bahasa metodologi, para peneliti meminjam
serangkaian disiplin termasuk ilmu-ilmu sosial. Kurang tegasnya batasan-batasan
ini justru menyediakan peluang untuk memperkaya studi interdisipliner yang
beragam. Interdisipliner sungguh penting bahwa kebangkitan Islam saat ini hanya
dapat diwujudkan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Fungsi
al-Quran juga berlaku bagi konstruksi ilmu pengetahuan dengan memberi petunjuk
tentang prinsip-prinsip sains yang selalu dikaitkan dengan pengetahuan
metafisik dan spiritual. Dengan kata lain, wahyu (dan sunnah) dapat dijadikan
sebagai sumber inspirasi bagi bangunan ilmu pengetahuan. Dengan demikian,
ketika sifat integreted dan komperhensif (interdisipliner) mampu diwujudkan lahirlah sosok
manusia yang mempunyai The Conscious of God dengan spirit liberating and
civilizing. Pendekatan Integratif-Interkonektif menjadikan Islamic
Studies mengalami proses objektivikasi dimana keilmuan tersebut dirasakan oleh
orang non-Islam sebagai sesuatu yang natural (sewajarnya), tidak sebagai
perbuatan keagamaan. Sekalipun demikian, dari sisi yang mempunyai perbuatan,
bisa tetap menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan, termasuk amal, sehingga
Islam menjadi rahmat bagi semua orang. Faktor kunci dalam pendekatan
interdisipliner yang berhasil adalah latar belakang pendidikan peneliti
sekaligus kemauan dan usahanya untuk mencari pandangan-pandangan para koleganya
yang dikenal karena perspektif-perspektif mereka yang inovatif.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah,
M. Amin. 2010. Islamis Studies di
Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
________
. 2007. Islamic Studies dalam Paradigma
Integrasi dan Interkoneksi. Yogyakarta: SUKA Press.
Baidhawy,
Zakiyuddin. 2011. Studi Islam: Pendekatan
dan Metode. Yogyakarta: Insan Madani.
Mas’ud, Abdurrahman .
2002. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme Relegius Sebagai
Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Gama Media.
Minhaji &
Kamaruzzaman. 2003. Masa Depan Pembidangan
Ilmu di Perguruan Tinggi Agama Islam. Jogjakarta: Ar-Ruz.
Purwanto,
Agus. 2008. Ayat-Ayat Semesta.
Bandung: Mizan.
Sardar,
Ziauddin. 2000. Merombak Pola Pikir
Intelektual Muslim. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tabrani.
2014. Islamic Studies dalam Pendekatan
Multidisipliner. https://www.neliti.com/id/journals.