Kamis, 28 Desember 2017

Urgensi Islam Interdisipliner di Era Millenial



Urgensi Islam Interdisipliner di Era Millenial
Oleh: One Emi Nasitoh

A.    Pendahuluan
Islam sebagai Rahmatan lil ‘alamin mempunyai berbagai makna, islam yang menjunjung tinggi hak dan martabat manusia, serta islam yang memberikan kasih sayang dan manfaat bagi seluruh umat manusia. Dari sini, Islam menggariskan bahwa semua pengetahuan bersifat universal dan berperikemanusiaan. Umat Islam, mulai dari kalangan skripturalis-fundamentalis sampai kontekstualis-liberal hingga kini masih satu pandangan dan keyakinan bahwa al-Quran merupakan kitab utama yang berkedudukan tertinggi. Diturunkannya al-Quran ke muka bumi diimani sebagai panduan umat manusia (huda al-linnas) dalam menjalani kehidupan di dunia. Karena itu pula al-Quran dipercaya sebagai sumber nilai obyektif, universal dan abadi. Ajaran al-Quran mencakup seluruh aspek kehidupan (as-Syumul). Juga mencakup seluruh ruang lingkup kehidupan, mulai dari kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, Negara dan bahkan global (internasional).
Dalam Sardar (2000: 48) disebutkan bahwa Pengetahuan Islam juga harus dibuat dalam bentuk norma agar dapat diterima secara universal. Karena semua epistemologis berasal dari konsep yang universal, maka mengandung nilai yang berlaku selamanya, dan menyangkut seluruh umat manusia. Pengetahuan islam, yang tidak dapat diaplikasikan pada kehidupan sosial manusia, yang tidak bermanfaat bagi dan tidak dapat di-sharing kepada pihak non-muslim, tidak bisa diberi label islam.
Dunia pendidikan juga tidak akan bisa lepas dari unsur perubahan. Maka sangat wajar jika dari perspektif filosofis, pembelajaran (learning) oleh Peter M. Senge diartikan dengan study and practice constanly. Karena hal tersebut tidak lepas dari hukum alam yang akan merongrong pendidikan untuk menapak tangga yang lebih tinggi dan juga tuntut untuk menempatkan eksistensinya sesuai dengan tuntutan realitas. Tetapi walaupun dalam realitas tersebut terus mengalir perubahan-perubahan yang menuntut hal lain pada dunia pendidikan dan juga pada manusia, tetapi curiosity (sifat ingin tahu) harus tetap menjadi spirit dalam hidup manusia. Artinya kedinamisan realitas harus diimbangi dengan gerakan konstruktif-solutif. Meminjam statemen dari Russel (dalam Mas’ud, 2002: 9) bahwa “it is better to be clearly wrong than vaguely right”, maka sikap seperti itu seharusnya yang dibangun dalam tatanan kehidupan dalam lingkaran pendidikan dan manusia sendiri untuk memunculkan suatu sikap optimistik-selektif dan juga untuk menumbuhkan spirit dalam mencari problem soulving untuk menjawab tuntutan realitas terhadap pendidikan (way of life long education). Esensi dari pendidikan itu sendiri sebenarnya adalah pengalihan (transmisi) kebudayaan (ilmu pengetahuan, teknologi, ide-ide, etika dan nilainilai spiritual serta estetika) dari generasi yang lebih tua kepada generasi yang lebih muda dalam setiap masyarakat atau bangsa. Proses transmisi ini diharapkan mampu untuk menjadi nilai hidup dalam mempersiapkan Sumber Daya Manusia (Human Resources) generasi berikutnya untuk menghadapi perubahan era baru. Oleh sebab itu dalam tataran ini, sejarah pendidikan mempunyai sejarah yang usianya sesuai dengan alur usia masyarakat pelakunya sendiri, sejak dari pendidikan informal dalam keluarga, sampai kepada pendidikan formal dan non-formal dalam masyarakat agraris maupun industri. Artinya, rentang waktu yang dilalui oleh pendidikan sebagai bagian dari sejarah sosial kemanusiaan mempunyai hubungan erat dengan peradaban manusia itu sendiri dan juga rentang waktu perjalanan manusia di muka bumi. Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh Edward Hallett Carr, yang dikutip oleh Djoko Soerjo, bahwa sejarah (pendidikan) merupakan suatu dialog tiada akhir antara masa kini dan masa lalu.

B.     Islamic Studies
Istilah  “Islamic Studies” atau Studi Islam kini telah dipergunakan dalam jurnal-jurnal professional, departemen akademik, dan lembaga-lembaga perguruan tinggi yang mencakup bidang pengkajian dan penelitian yang luas, yakni seluruh yang memiliki dimensi “Islam” dan keterkaitan dengannya. Rujukan pada Islam, apakah dalam pengertian kebudayaan, peradaban, atau tradisi keagamaan, telah semakin sering dipakai dengan munculnya sejumlah besar literatur dalam berbagai bahasa Eropa atau Barat pada umumnya yang berkenaan dengan paham Islam politik, atau Islamisme. Literatur-literatur tersebut berbicara tentang perbankan Islam, ekonomi Islam, tatanan politik Islam, demokrasi Islam, hak-hak asasi manusia Islam, dan sebagainya. Sejumlah buku-buku terlaris sejak 1980-an berhubungan dengan judul-judul “Islam” dan hal-hal yang berkaitan dengan kata sifat “Islami”, yang menunjukkan betapa semua itu telah diistilahkan dengan sebutan “Islamic Studies” di dunia akademik (Baidhawy, 2011: 1-2).
Kita dapat mengemukakan dua pendekatan mendasar mengenai definisi Islamic Studies, yaitu definisi sempit dan definisi yang lebih luas (Seleiman & Shihadeh dalam Baidhawy, 2011: 2).
1.      Definisi Sempit
Pendekatan pertama melihat Islamic Studies sebagai suatu disiplin dengan metodologi, materi dan teks-teks kuncinya sendiri; bidang studi ini dapat didefinisikan sebagai studi tentang tradisi teks-teks keagamaan klasik dan ilmu-ilmu keagamaan klasik; memperluas luang lingkupnya berarti akan mengurangi kualitas kajiannya. Di samping itu, Islamic Studies berbeda dari ilmu-ilmu humaniora dan ilmu-ilmu sosial dan akan diperlemah bila pendidikan berbasis kepercayaan tentang Islam dan studi tentang Islam lintas disiplin berdasarkan kepada dua disiplin tersebut. Meski ada perbedaan nyata antara antropologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya, dan Islamic Studies hanya sebagai distingsi yang dibuat dalam hubungannya dengan disiplin-disiplin lainnya seperti Christian Studies.
Menurut definisi ini, Islamic Studies mengimplikasikan: Pertama, studi tentang disiplin dan tradisi intelektual keagamaan klasik menjadi inti dari Islamic Studies, karena ada di jantung kebudayaan yang dipelajari dalam peradaban Islam dan agama Islam, dan karena banyak Muslim terpelajar masih memandangnya sebagai persoalan penting. Pengertian Islamic Studies sebagai studi tentang teks-teks Arab pra-modern utamanya karena itu mesti dipertahankan. Keterampilan utama yang dibutuhkan adalah bahasa Arab.
Kedua, Islamic Studies adalah suatu bidang yang sempit. Upaya-upaya untuk memperluas bidang kajiannya dapat mengakibatkan berkurangnya kualitas kajian. Namun demikian, bidang ini terus menghadapi tekanan komersial untuk memperluas ruang lingkupnya, dengan memasukkan misalnya, studi tentang pengobatan dan keuangan Islam. Namun, imperatif utamanya adalah mempertahankan kualitas hasilnya. Penelitian dan pengajaran dalam wilayah-wilayah yang berada di luar definisi Islamic Studies yang sempit mesti diupayakan secara kolaboratif dengan kalangan spesies luar yang berkualitas.
Ketiga, pendidikan berbasis keilmuan bagi Muslim mengenai Islam, dan studi lintas disiplin tentang Islam yang bersandar kepada ilmu-ilmu humaniora dan ilmu-ilmu sosial, keduanya memberikan tujuan yang bermanfaat. Namun, Islamic Studies bagaimanapun berbeda dari keduanya dan jangan dipertipis garis batasnya. Yang diharapkan ialah upaya memperkaya dua bidang lainnya. Minat ilmu antropologi dan ilmu-ilmu sosial terhadap Islam memang dapat dibenarkan, namun jangan dipaksa untuk diistilahkan sebagai Islamic Studies.
2.      Definisi yang Lebih Luas (Interdisipliner)
Pendekatan kedua mendefinisikan Islamic Studies berdasarkan pada pernyataan bahwa Islam perlu dikaji dalam konteks evolusi Islam modern yang penuh teka-teki. Juga adanya kebutuhan untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh teks-teks tentang cara orang-orang mengalami dan menjalankan kehidupan mereka. Membatasi bidang kajian pada studi teks saja akan berisiko memberikan kesan yang salah tentang seperangkat praktik keagamaan Islam, sehingga menutupi realitas yang lebih kompleks. Islam mesti diajarkan baik sebagai tradisi teks maupun sebagai realitas sosial. Islamic Studies harus memiliki inti wilayah-wilayah dan teks-teks yang definitif; pada hakikatnya ini mesti terdiri dari ilmu-ilmu keislama klasik. Meskipun demikian, di sekitar inti ini ada wilayah-wilayah lain yang dapat dimasukkan, seperti antropologi  dan ilmu-ilmu sosial. Dalam definisi ini, bidang Islamic Studies perlu juga memasukkan pendekatan sosiologis dan studi tentang dunia modern.
Mengajarkan Islamic Studies di perguruan tinggi mesti menjembatani kesenjangan antara pendekatan tekstual dan pendekatan etnografi, karena mahasiswaa seringkali berminat pada teks-teks tradisional, meskipun studi teks dapat mencakup berbagai tradisi yang berbagai tradisi yang berbeda-beda. Artinya membatasi diri pada bidang kajian teks semata berisiko memberikan pengertian yang keliru tentang Islam dan masyarakat Islam.
Teks-teks tradisi klasik besar telah dihasilkan dan dipergunakan oleh kaum Muslim dalam konteks sosial tertentu. Islam harus diajarkan baik sebagai tradisi tekstual dengan seluruh kesatuan sejarahnya, dan sebagai realitas sosial yang dinamis dan terus berubah. Keduanya saling berhubungan, yakni tradisi teks menunjukkan bahwa Islam, di samping merupakan seperangkat ajaran keagamaan, adalah cara mendekati tantangan-tantangan ekonomi dan sosial praktis dalam kehidupan ini (Baidhawy, 2011: 2-4).

C.    Pendekatan dalam Pendidikan
Sejarah pendidikan selama ini masih menggunakan pendekatan konvensional yang umumnya bersifat diakronis, yang kajiannya berpusat pada sejarah dari ide-ide dan tokoh pemikir besar dalam pendidikan, atau sejarah dan sistem pendidikan dan juga lembaga-lembaga, atau sejarah perundang-undangan dan kebijakan umum dalam bidang pendidikan. Pendekatan yang umumnya bersifat diakronis ini dianggap statis, sempit serta terlalu melihat ke dalam. Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan dalam pendidikan beserta segala macam masalah yang timbul atau ditimbulkannya, penanganan serta pendekatan baru dalam sejarah pendidikan dirasakan sebagai kebutuhan yang mendesak oleh para sejarawan pendidikan. Para pemerhati pendidikan melihat hubungan timbal balik antara pendidikan dan masyarakat; antara penyelenggara pendidikan dengan pemerintah sebagai representasi bangsa dan negara yang merumuskan kebijakan (policy) umum bagi pendidikan nasional. Produk (output) dari pendidikan menimbulkan mobilitas sosial (vertikal maupun horizontal); masalah-masalah yang timbul dalam pendidikan yang dampak-dampaknya (positif ataupun negatif) dirasakan terutama oleh masyarakat sebagai konsumen pendidikan.
Fenomena pendidikan tersebut di atas merupakan lingkaran setan, yang kita tidak bisa keluar dengan hanya mengandalkan satu pendekatan yang bersifat diakronis. Apalagi dalam pendidikan Islam yang sampai sekarang masih mempunyai masalah serius yang dihadapi oleh sebagian besar konseptor pendidikan Islam yaitu rendahnya tingkat kemampuan memahami pendidikan Islam sebagai suatu “ilmu” dan pendidikan Islam sebagai suatu “lembaga pendidikan”. Harus diakui, memahami pendidikan Islam sebagai suatu sistem ilmu pengetahuan dan membedakan pengertiannya dengan pendidikan Islam sebagai suatu lembaga pendidikan tidak semudah seperti memahami objek, ilmu bersifat abstrak, sedangkan lembaga pendidikan bersifat konkret.
Sehubungan dengan hal di atas pendekatan sejarah pendidikan (Islam) baru tidak cukup dengan cara-cara diakronis saja. Perlu ada pendekatan metodologis yang baru yaitu dengan pendekatan interdisipliner. Dalam pendekatan interdisipliner dilakukan kombinasi pendekatan diakronis sejarah dengan sinkronis ilmu-ilmu sosial. Pada era sekarang ini, ilmu-ilmu sosial tertentu seperti antropologi, sosiologi, dan politik telah memasuki “perbatasan” (sejarah) pendidikan dengan “ilmu-ilmu terapan” yang disebut antropologi pendidikan, sosiologi pendidikan, dan politik pendidikan. Dalam pendekatan ini dimanfaatkan secara optimal dan maksimal hubungan dialogis “simbiosis mutualistis” antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial (Tabrani, 2014: 214-215). Interdisipliner dalam Abdullah (2007: 56) diistilahkan dengan pendekatan keilmuan integrative-interkonektif yang menegaskan bahwa antara keilmuan umum dan agama (Islamic Studies) akan saling tegur sapa dalam hal materi, metodologi dan pendekatan-pendekatan. Kedua keilmuan tersebut tidak akan merasa asing satu sama lainnya, dimana Islamic Studies yang ada dalam Fakultas Dakwah, Tarbiyah, Syariah, Adab dan Ushuludin akan selalu berubungan dengan keilmuan sosial, humaniora, ataupun sains.

D.    Bagaimana Kondisi Era Milenial?
Hasan menyebutkan dalam Abdullah (2010: 95): “ Millenium baru membawa tantangan-tantangan yang negatif arus globalisasi dan krisis lingkungan hidup. Jika tidak diwaspadai, akan membuat seluruh planet bumi hancur. Tambahan pula, ancaman lama perang nuklir, konflik-konflik internasional yang belum terpecahkan di Timur Tengah dan Eropa Timur, perang antar suku di Afrika, penderitaan AIDS, semakin bertambahnya kejahatan dalam berbagai bentuknya, rusaknya kelembagaan keluarga, penyalahgunaan obat, kerusakan kehidupan kota, dekadasi moral dan berbagai penyakit sosial lainnya. Agama-agama yang mengajak ke arah perdamaian, keadilan, kesejahteraan hidup secara utuh-menyeluruh dan kehidupan yang baik harus menanggapi isu-isu tersebut di atas, sementara ia tetap harus menentang ketidakadilan sosial, penindasan, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, keserakahan, materialisme, rasisme, seks, hedonisme dan nihilisme.”
Dalam situasi global yang menuntut skill dan penguasaan bahasa asing (Inggris dan Arab), bidang ilmu yang ditawarkan oleh PTAI hanya cocok untuk mencetak generasi penghafal tradisi klasik Islam. Bukan hanya disitu, bidang ilmu yang ditawarkan oleh kebanyakan PTAI adalah masih bersifat teologis-normatif-deduktif, bukan empiris-historis-induktif. Model ini hanya cocok untuk masa awal abad ke-20 di mana umat Islam perlu membangun kembali kerangka dalam melakukan reformasi pemikiran Islam. Namun untuk abad ke-21 dan seterusnya, model empiris-historis-induktif yang sering digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan perlu mendapat perhatian (Minhaji & Kamaruzzaman, 2003: 79).

E.     Urgensi Islam Interdisipliner di Era Millenial
Jauh sebelumnya, dalam sejarah kependidikan Islam telah pula terpola pengembangan keilmuan yang bercorak integralistik-ensiklopedik di satu sisi, yang dipelopori oleh para ilmuan seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, berhadapan pula dengan pola pengembangan keilmuan agama yang spesifik-parsialistik di sisi lain, yang dikembangkan oleh para ahli hadis dan ahli fiqih. Keterpisahan secara diametral antara keduanya dan sebab-sebab lain yang bersifat politis-ekonomis, berakibat pada rendahnya mutu pendidikan dan kemunduran dunia Islam pada umumnya (Abdullah, 2010: 96). Maka Studi Islam pada dekade 2000-an mengalami pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh nalar saintifik Barat (sebagaimana terlihat dalam filologi) ketika diterapkan untuk kebudayaan-kebudayaan atau konsep-konsep asing di luar realitas Eropa Kristen dan peradaban Barat sekuler. Disiplin studi islam tetap hegemonik: ia selalu menekankan klasifikasi, kategori, definisi, distingsi, konsep-konsep, dan teori-teori tentang kebudayaan lain tanpa ketakutan akan kritik atau penolakan, kecuali barangkali tentang landasan-landasan polemik atau ideologis. Ini menjadi mungkin karena pada awal abad ke-21, dunia Muslim yang menjadi objek dari penelitian Studi Islam memproduksi pandangan konseptualnya sendiri tentang sejarah, kebudayaan, dan agama sehingga akan menentang perspektif hegemonik yang inheren dalam Studi Islam dan memaksanya untuk mengakui penafsiran alternative (Baidhawy, 2011: 54-55).
Tantangan di era globalisasi menuntut respons tepat dan cepat dari sistem pendidikan Islam secara keseluruhan. Jika kaum Muslimin tidak hanya ingin sekedar survive di tengah persaingan global yang semakin tajam dan ketat, tetapi juga berharap mampu tampil di depan, maka re-orientasi pemikiran mengenai pendidikan Islam dan rekonstruksi sistem dan kelembagaan merupakan keniscayaan. Umat Islam tidak boleh berpangku tangan dan menonton dari seluruh perkembangan yang terjadi (Abdullah, 2010: 98-99). Oleh karena itu penting bagi kajian islam untuk mengintegralkan dan menghilangkan dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama. Hal ini penting untuk memberikan landasan moral Islam terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, sosial-ekonomi, sosial-budaya, sosial-politik dan sosial-keagamaan, sekaligus mengartikulasikan ajaran Islam sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, humaniora dan sosial kontemporer. Seperti dalam Baidhawy (2011 :4), Islamic Studies bukanlah sebuah disiplin, namun ia lebih merupakan kesalinghubungan antara beberapa disiplin. Dalam bahasa metodologi, para peneliti meminjam serangkaian disiplin termasuk ilmu-ilmu sosial. Kurang tegasnya batasan-batasan ini justru menyediakan peluang untuk memperkaya studi interdisipliner yang beragam. Interdisipliner sungguh penting sebagaimana Agus Purwanto yakin bahwa kebangkitan Islam saat ini hanya dapat diwujudkan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agus Purwanto mengingatkan bahwa fungsi al-Quran juga berlaku bagi konstruksi ilmu pengetahuan dengan memberi petunjuk tentang prinsip-prinsip sains yang selalu dikaitkan dengan pengetahuan metafisik dan spiritual. Dengan kata lain, wahyu (dan sunnah) dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi bagi bangunan ilmu pengetahuan (2008:193). Dengan demikian, ketika sifat integreted dan komperhensif (interdisipliner) mampu diwujudkan lahirlah sosok manusia yang mempunyai The Conscious of God dengan spirit liberating and civilizing (Tabrani, 2014: 232). Pendekatan Integratif-Interkonektif menjadikan Islamic Studies mengalami proses objektivikasi dimana keilmuan tersebut dirasakan oleh orang non-Islam sebagai sesuatu yang natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan keagamaan. Sekalipun demikian, dari sisi yang mempunyai perbuatan, bisa tetap menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan, termasuk amal, sehingga Islam menjadi rahmat bagi semua orang (Abdullah, 2007: 54).

F.     Metodologi Ilmiah Modern dan Studi Islam
Studi tentang agama-agama pada masa modern dan kontemporer banyak mengambil manfaat dari perkembangan metodologi dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Pengaruh kedua disiplin keilmuan ini cukup besar bagi perkembangan studi agama dan khususnya Studi Islam. Mengkaji Islam belum sampai pada kesimpulan yang komprehensif bila semata mengandalkan metode dan pendekatan yang sifatnya sui generis berasal dari ilmu keislaman itu sendiri sebagaimana dalam percabangan kajian Islam tradisional. Penerapan pendekatan dan metode keilmuan modern dan kontemporer  dalam Studi Islam ini bukan bermaksud untuk menggantikan apalagi menyingkirkan kajian Islam tradisional, namun lebih merupakan melihat dari perspektif lain yang dipercaya dapat memperkaya tentang pemahaman Islam dan masyarakat Muslim.
1.      Pendekatan Ilmu Sejarah
Pendekatan historis adalah suatu upaya untuk menelusuri asal-usul dan pertumbuhan ide-ide dan lembaga-lembaga keagamaan melalui perode-periode waktu tertentu dalam perkembangan historis dan untuk menilai peran faktor-faktor yang berinteraksi dengan agama dalam periode tersebut. Yang utama dari analisis historis adalah penggunaan bukti-bukti pertama baik berupa sumber-sumber documenter maupun benda-benda yang masih dapat dijumpai/diwariskan. Bukti dokumen khususnya literatur barangkali merupakan tipe analisis historis yang lebih umum dan memerlukan perhatian khusus dalam mengkaji agama-agama.
Sejalan dengan para sejarawan menguji reliabilitas sumber-sumber dengan harapan mengungkap data historis tertentu, ia juga harus mengakui bahwa aspek-aspek tertentu dari tradisi keagamaan tidak rentan atas penyelidikan sejarah. Misalnya, masalah mukjizat yang tidak dapat dinalar oleh rasio tidak membutuhkan penelitian historis. Hal serupa juga terjadi pada kajian tentang Islam (Baidhawy, 2011: 262).
2.      Pendekatan Sosiologis
Pada awalnya, penerapan metode sosiologis mengikuti model sosiologi umumnya seperti yang dikemukakan oleh A. Comte dan L. Von Stein, yang berkaitan erat dengan penafsiran ekonomi yang diusulkan oleh Laselle dan Marx. Pendekatan ini kemudian dikoreksi oleh para peneliti sosiologi agama modern: Fustel de Coulanges dan Emile Durkheim, Max Weber dan Ernst Troeltsch, Werner Sombart dan Max Scheler (Baidhawy, 2011: 264).
Kajian tentang pengaruh stratifikasi sosial atas pengelompokan sosial dan atas struktur dan pembentukan komunitas keagamaan kini mendapat dukungan dari upaya-upaya yang dilakukan oleh sejarawan dan ahli hokum. Kajian ini terjadi di Jerman, Perancis, dan Amerika yang telah menghasilkan temuan-temuan menarik. Emile Durkheim, Max Weber, Howard Becker, dan lain-lain, merupakan pelopor dalam bidang ini. Sama pentingnya adalah pendekatan sosiologis untuk mengkaji kelompok keagamaan yang diorganisir secara sistematis dan tipologis, sehingga melengkapi penelitian sejarah dan psikologi. Dalam agama-agama Kristen dan non-Kristen salah satu kepedulian utama adalah komuni, jamaah. Definisi tentang jamaah menurut penafsiran masing-masing kelompok keagamaan merupakan salah satu dari ajaran utama keimanan.
Pengalaman keagamaan itu sendiri pada umumnya mengungkapkan diri dalam tiga cara: dalam pemikiran, tindakan dan perkumpulan/jamaah. Tiga bentuk ekspresi ini menyatu dan hanya dalam ekspresi perkumpulan/jamaah inilah dua hal yang lain –ekspresi intelektual dan praktikal- memperoleh makna sejatinya. Mitos atau doktrin merupakan artikulasi pemikiran tentang apa yang dialami dalam berhadapan dengan Realitas Ultim; dan kultus merupakan hidup di luar konfrontasi ini dalam bentuk tindakan. Keduanya memberikan arah bagi komunitas, yang dibentuk oleh mereka yang bersatu dalam pengalaman keagamaan, dan komunitas ini aktif membentuk dan mengembangkan pengalaman keagamannya dalam pemikiran dan tindakan (Baidhawy, 2011: 266-267).
3.      Pendekatan Antropologi dan Etnografi
Antropologi adalah suatu cabang keilmuan yang peduli dengan upaya mendokumentasikan organisasi hubungan-hubungan sosial dan pola-pola praktik kebudayaan di tempat-tempat tertentu, dan mengembangkan lebih kurang teori-teori berkenaan dengan keserupaan-keserupaan dan perbedaan-perbedaan dalam kehidupan manusia. Dalam konteks Studi Islam dan masyarakat Muslim, karya-karya etnografi yang merupakan tipikal dari karya para antropologis bertujuan untuk menunjukkan bagaimana Islam telah dipribumikan (Eickel dalam Baidhawy, 2011:271), bagaimana tradisi-tradisi dominan dan lebih menonjol dipraktikkan, diinstitusionalisasikan, ditransmisikan, tumbuh bersama dan dikontestasikan dalam berbagai kawasan sekaligus, baik di lokasi-lokasi pedesaan maupun perkotaan. Agama dan ritual disituasikan dalam kaitannya dengan kategori-kategori lain seperti kekerabatan dan etnisitas, ekonomi dan teknologi, politik dan ideology. Dalam pengertian yang lebih teoretis, para antropolog berusaha menilai seberapa besar kemungkinan untuk menggeneralisasi tentang masyarakat-masyarakat dan kebudayaan-kebudayaan Muslim dalam rentangan tempat (dan dalam beberapa hal dalam rentangan waktu). Bagaimana hubungan antara yang satu dan yang jamak, yang universal dan yang partikular, Islam dan keragaman empiric dari Islam yang majemuk (El-Zein dalam Baidhawy, 2011: 271-272).
4.      Pendekatan Fenomenologi
Ada premis dalam fenomenologi agama bahwa manusia secara fitrah beragama dan fenomena keagamaan sama kompleksnya dengan manusia itu sendiri. Premis ini membawa para sarjana untuk bersimpati dan rendah hati ketika mereka mencoba menjelaskan fenomena keagamaan. Dalam konteks Studi Islam, sejak pertengahan kedua abad 20, pandangan simpatetik telah menjadi kecenderungan umum sebagai lawan dari prasangka dan miskonsepsi sarjana Barat yang dikritik oleh Norman Daniel dalam Islam and the West dan Edward Wadie Said dalam Orientalism (1978). Jadi pendekatan fenomenologi berusaha untuk menengahi antara sikap yang kering dan tidak simpati dari pendekatan positivistic terhadap agama dengan teologi konservatif. Tidak persis betul sebagai jalan tengah karena banyak sarjana mengusulkan berbagai cara di ruang yang sempit ini. Ada beberapa studi yang berupaya untuk menjelaskan hakikat fenomenologi agama. Arvind Sharma adalah salah seorang sarjana yang mencoba mendefinisikan metode fenomenologi dengan menganalisis definisi-definisi yang diusulkan oleh pra fenomenolog agama seperti Brede Kristensen (1867-1953) dan Gerardus van der Leeuw (1890-1950). Dari kajiannya, Sharma mendefinisikan bahwa “fenomenologi agama adalah suatu metode kajian agama yang ditandai dengan upaya mencari struktur yang menggarisbawahi data keagamaan yang dapat diperbandingkan sehingga tidak menyalahi pemahaman orang-orang beriman itu sendiri”. Paralelitas antara berbagai tradisi keagamaan tidak muncul dari luar dinamika interaksi historis, namun muncul dari keserupaan-keserupaan proses struktural. Inilah yang membuat fenomenologi agama berbeda dari sejarah agama (Baidhawy, 2011: 278-279).
5.      Pendekatan Arkeologi
Studi Islam yang berkaitan dengan perkembangan Islam di berbagai kawasan juga berkembang. Dalam waktu yang cukup lama, Studi Islam lebih terfokus pada kajian Islam di kawasan Timur Tengah. Padahal, banyak kawasan lain di luar Timur Tengah menjadi tempat berkembangnya kebudayaan dan peradaban Muslim, seperti Afrika dan Asia Selatan, dan Asia Tenggara di mana Islam tumbuh. Khususnya kawasan Asia Tenggara di mana Indonesia sebagai Negara berpenduduk Muslim terbesar dunia berada, adalah suatu kawasan yang lebih banyak didominasi oleh kajian para sarjana Barat itu mengungkapkan berbagai persoalan yang berhubungan dengan Islam Asia Tenggara dan relevan untuk kajian arkeologi. Kajian arkeologi ini akan memberikan jawaban atas apa yang belum disentuh secara memadai oleh kalangan sejarawan dan antropolog. Persoalan yang diajukan oleh arkeologi terhadap kajian Islam di Asia Tenggara terkait dengan masalah: kapan Islam kali pertama datang di kawasan ini, di mana pintu masuknya, siapa yang membawanya dan dari mana dibawa (Baidhawy, 2011: 288).
Pendekatan ini dalam keilmuan global cukup menjanjikan untuk menambah pemahaman kita tentang asal-usul dan perkembangan Islam Asia Tenggara. Dengan memfokuskan pada skala kecil, skala lokal dan penggunaan bukti-bukti documenter sebagai sumber persoalan penelitian daripada jawaban-jawaban, ada potensi untuk menghasilkan capaian yang mengejutkan. Ini merupakan kawasan paling produktif dalam arkeologi sejarah secara umum, dan merupakan satu metode untuk menggerakkan penelitian arkeologi dari periode historis yang keluar dari peran sekundernya menuju sejarah di mana data arkeologi sekadar menggambarkan atau mengisi kekosongan penelitian berdasarkan dokumen (Baidhawy, 2011: 292).

G.    Bagaimana Interdisipliner yang Berhasil?
Tulisan ilmiah tentang Goethe, Immanuel Kant, Cervantes, atau Dante menjadi rujukan bagi karya-karya ilmiah dalam bahasa Jerman, Spanyol, dan Itali. Namun, ketika karya-karya mereka diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Persia, atau Turki, seringkali terlalu diabaikan. Dalam ungkapan yang lebih buruk, katakanlah para sarjana Studi Islam telah membentuk suatu kelompok tertutup; mereka membaca dan saling mengkritik karya satu dengan lainnya tanpa merasakan risiko dinilai oleh para peneliti dalam disiplin-disiplin keilmuan lainnya yang teknik-teknik mereka harus digunakan untuk menganalisis Islam. Dengan kata lain, faktor kunci dalam pendekatan interdisipliner yang berhasil adalah latar belakang pendidikan peneliti sekaligus kemauan dan usahanya untuk mencari pandangan-pandangan para koleganya yang dikenal karena perspektif-perspektif mereka yang inovatif (Baidhawy, 2011: 55).

H.    Penutup
Islamic Studies bukanlah sebuah disiplin, namun ia lebih merupakan kesalinghubungan antara beberapa disiplin. Dalam bahasa metodologi, para peneliti meminjam serangkaian disiplin termasuk ilmu-ilmu sosial. Kurang tegasnya batasan-batasan ini justru menyediakan peluang untuk memperkaya studi interdisipliner yang beragam. Interdisipliner sungguh penting bahwa kebangkitan Islam saat ini hanya dapat diwujudkan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Fungsi al-Quran juga berlaku bagi konstruksi ilmu pengetahuan dengan memberi petunjuk tentang prinsip-prinsip sains yang selalu dikaitkan dengan pengetahuan metafisik dan spiritual. Dengan kata lain, wahyu (dan sunnah) dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi bagi bangunan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, ketika sifat integreted dan komperhensif (interdisipliner) mampu diwujudkan lahirlah sosok manusia yang mempunyai The Conscious of God dengan spirit liberating and civilizing. Pendekatan Integratif-Interkonektif menjadikan Islamic Studies mengalami proses objektivikasi dimana keilmuan tersebut dirasakan oleh orang non-Islam sebagai sesuatu yang natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan keagamaan. Sekalipun demikian, dari sisi yang mempunyai perbuatan, bisa tetap menganggapnya sebagai perbuatan keagamaan, termasuk amal, sehingga Islam menjadi rahmat bagi semua orang. Faktor kunci dalam pendekatan interdisipliner yang berhasil adalah latar belakang pendidikan peneliti sekaligus kemauan dan usahanya untuk mencari pandangan-pandangan para koleganya yang dikenal karena perspektif-perspektif mereka yang inovatif.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. 2010. Islamis Studies di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
________ . 2007. Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi dan Interkoneksi. Yogyakarta: SUKA Press.
Baidhawy, Zakiyuddin. 2011. Studi Islam: Pendekatan dan Metode.  Yogyakarta: Insan Madani.
Mas’ud, Abdurrahman . 2002. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme Relegius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Gama Media.
Minhaji & Kamaruzzaman. 2003. Masa Depan Pembidangan Ilmu di Perguruan Tinggi Agama Islam. Jogjakarta: Ar-Ruz.
Purwanto, Agus. 2008. Ayat-Ayat Semesta. Bandung: Mizan.
Sardar, Ziauddin. 2000. Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tabrani. 2014. Islamic Studies dalam Pendekatan Multidisipliner. https://www.neliti.com/id/journals.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar